Cerpen Terbaru: Aku Berlutut Di Depanmu, Tapi Hatiku Berdiri Melawanmu.
Aku Berlutut di Depanmu, Tapi Hatiku Berdiri Melawanmu.
Kabut ungu menyelimuti Puncak Giok, tempat kami berdua, Lin Wei dan aku, tumbuh bersama. Seperti dua pohon pinus yang akarnya saling menjerat di bawah tanah, kami berbagi mimpi, latihan pedang, dan janji setia. Lin Wei, dengan senyumnya yang memikat dan matanya yang menyimpan badai, adalah saudaraku, sahabatku, satu-satunya orang yang aku percaya di dunia yang penuh intrik ini.
"Kau selalu menjadi yang terbaik, Bai Lian," ucapnya suatu senja, setelah aku mengalahkannya dalam latihan. Tangannya menepuk bahuku, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang asing, seperti cemburu yang tersembunyi.
Aku tertawa, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba terasa begitu nyata. "Kita adalah satu tim, Lin Wei. Kemenanganmu adalah kemenanganku."
Tapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Apakah begitu?"
Waktu berlalu, dan kami semakin dekat dengan posisi tertinggi di Sekte Naga Langit. Lin Wei menjadi kesayangan Guru, sementara aku, dengan rendah hati, mengasah kemampuanku dalam bayang-bayang. Kami berdua tahu, hanya satu yang bisa mewarisi Kepemimpinan.
Malam itu, rahasia itu mulai terkuak. Aku menemukan surat yang disembunyikan di balik altar, surat yang ditulis oleh Guru kepada seorang jenderal istana. Surat itu menyebutkan nama ayahku, Bai Zhan, seorang pahlawan yang difitnah dan dieksekusi sepuluh tahun lalu karena dituduh berkhianat. Surat itu menyebutkan bahwa Guru, dan jenderal itu, terlibat dalam penghancuran keluargaku.
Duniaku runtuh. Tapi yang lebih mengejutkan, di akhir surat, terdapat satu baris tulisan tangan yang kukenal: "Aku akan memastikan Bai Lian tidak akan pernah menjadi ancaman. Aku akan setia kepadamu, Guru." Tulisan itu... adalah tulisan tangan Lin Wei.
PENGKHIANATAN. Kata itu menghantamku seperti pedang.
Aku menghadapinya keesokan harinya, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran.
"Lin Wei," desisku, suara serak oleh kemarahan dan patah hati. "Katakan padaku, apa ini benar?"
Dia menatapku, matanya dingin seperti es. "Kebenaran selalu rumit, Bai Lian."
"Apakah kau yang menjebak ayahku? Apakah kau yang menulis surat itu?"
Dia terdiam, dan dalam keheningan itu, aku menemukan jawabannya.
"Kau… kau selalu iri padaku, bukan? Kau selalu ingin menjadi aku."
Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Aku hanya ingin bertahan hidup, Bai Lian. Dunia ini tidak menghargai kesetiaan."
Pertempuran itu berlangsung sengit. Pedang kami berdansa di udara, memercikkan api di setiap benturan. Setiap tebasan adalah jeritan, setiap tusukan adalah pengkhianatan yang terungkap. Aku berlutut di depannya, terluka dan kelelahan, tetapi hatiku berdiri tegak, penuh dengan amarah yang membara.
"Kenapa, Lin Wei? Kenapa kau melakukan ini?"
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kupahami. "Karena aku mencintai Sekte ini lebih dari aku mencintaimu. Karena aku harus."
Pada akhirnya, aku menang. Pedangku menembus jantungnya. Dia tersenyum pahit, matanya menatap langit.
"Kau seharusnya tahu, Bai Lian," bisiknya dengan susah payah, "bahwa surat itu... surat itu palsu. Guru mengetahuinya. Dia hanya ingin melihat kita saling menghancurkan... Demi kesetiaan, aku... Aku membunuh ayahmu."
Kebenaran itu menghancurkanku lebih dari pedangnya. Dunia berputar, dan aku tahu, tidak ada lagi yang tersisa untukku di dunia ini. Aku memeluknya, air mata membasahi wajahnya.
"Mungkin... di kehidupan selanjutnya..."
Dia menarik napas terakhirnya.
Aku berdiri, di tengah hamparan sakura yang berlumuran darah. Dendamku telah terbalaskan, tetapi kebenarannya... Kebenaran itu membunuhku.
"Seharusnya... aku tahu... kesetiaan adalah racun..."
You Might Also Like: 148 Alasan Sunscreen Mineral Untuk