Kisah Seru: Bibir Yang Membisikkan Kematian
Bibir yang Membisikkan Kematian
Kabut menyelimuti Puncak Qingyun seperti kain sutra kelabu yang tak berujung. Lorong-lorong istana, sunyi dan dingin, seakan menahan napas. Lima belas tahun lamanya Yuè Lóng menghilang, dianggap tewas dalam pemberontakan berdarah. Kini, ia kembali.
Ia berdiri di hadapan Putri Li Wei, wanita yang seharusnya menjadi istrinya dulu. Wajahnya pucat, nyaris transparan, namun matanya menyimpan badai yang terpendam.
"Putri," bisiknya, suaranya serak seperti gesekan batu giok. "Anda tidak menyangka akan melihatku lagi, bukan?"
Li Wei, yang kini memegang takhta dengan tangan besi, menatapnya dengan tatapan dingin. "Yuè Lóng…kau memang hantu yang keras kepala. Apa yang kau inginkan?"
"Jawaban," balas Yuè Lóng. "Atas pertanyaan yang tak pernah kau izinkan terucap. Siapa yang memerintahkan pembantaian keluarga Yuè?"
Li Wei tertawa hambar, suara renyahnya memecah kesunyian lorong. "Kau sungguh naif. Keluarga Yuè mengancam kekuasaanku. Itu adalah tindakan yang perlu."
Yuè Lóng mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan bermakna. "Benarkah? Atau… apakah ada kekuatan yang lebih besar yang bermain di balik tirai?"
Desahan angin terdengar di antara pilar-pilar batu. Yuè Lóng meraih tangan Li Wei, jarinya yang dingin menyentuh kulitnya. "Ingat malam itu, Putri? Malam sebelum pemberontakan? Kata-kata manis yang kau bisikkan ke telingaku… kata-kata tentang kekuasaan yang dijanjikan jika aku menyingkirkan ayahmu."
Li Wei terhuyung mundur, matanya membelalak penuh ketakutan. "Itu… itu bohong! Fitnah!"
Yuè Lóng menggeleng pelan, senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. "Kau pikir aku satu-satunya yang mendengarnya? Kau lupa, Putri. Kabut Puncak Qingyun menyimpan rahasia. Dan BIBIR membisikkan kematian."
Ia mengeluarkan sebuah jimat giok dari balik jubahnya. Jimat itu, identik dengan milik Li Wei, retak di tengahnya. "Jimat ini… adalah bukti perjanjianmu dengan para tetua. Kau menggunakan kami berdua, keluarga Yuè dan para tetua, untuk merebut takhta. Lalu kau menyingkirkan kami semua."
Li Wei berlutut, air mata mengalir di pipinya. "Aku… aku tidak punya pilihan. Mereka mengancamku!"
Yuè Lóng berjongkok di hadapannya. "Pilihan selalu ada, Putri. Kau memilih jalan yang PALING MUDAH, bukan yang PALING BENAR."
Ia berdiri, memunggungi Li Wei yang terisak. Kabut semakin tebal, menelan sosoknya. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia berbalik dan mengucapkan sepatah kata terakhir:
"Kau pikir aku mati, Putri? Kau SALAH BESAR. Aku hanyalah bidak yang kau gerakkan. Dan seorang bidak pun bisa MEMENANGKAN permainan jika dimainkan dengan BENAR."
You Might Also Like: 7 Fakta Arti Mimpi Masuk Rumah Lebah