Endingnya Gini! Senyum Yang Menyimpan Luka Terdalam
Senyum yang Menyimpan Luka Terdalam
Malam menyelimuti Kota Terlarang seperti kain beludru hitam yang berat. Angin dingin mencambuk wajah, membawa serpihan salju yang menusuk kulit. Di Paviliun Kebajikan, dupa cendana mengepul, asapnya membentuk pusaran hantu yang menari di antara bayangan. Putri Mei Lan berdiri di sana, punggungnya tegak, gaun sutra merahnya bagaikan setetes darah di atas hamparan putih. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun mata gelapnya menyimpan lautan kesedihan yang tak terperi.
Di hadapannya, Kaisar Li Wei, pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, suaminya, berdiri dengan wajah keras. Cahaya obor menari-nari di wajahnya, menyoroti garis-garis kekejaman yang terukir di sana. Di antara mereka, terbentang sungai darah dan air mata, kenangan pahit yang tak mungkin terhapuskan.
"Mei Lan," suara Kaisar bagai pecahan es. "Sudah saatnya kau tahu kebenaran."
Setiap kata yang terucap terasa seperti belati yang menghunus jantung Putri. Kebenaran… kebenaran tentang malam kelabu lima belas tahun lalu, malam ketika seluruh keluarganya dibantai atas perintahnya. Kebenaran tentang janji yang diucapkannya di atas abu makam ibunya – janji BALAS DENDAM.
Kilasan masa lalu menerjangnya. Darah di salju. Tangisan pilu yang menggema di aula istana. Aroma dupa yang bercampur dengan bau kematian. Ia ingat wajah ibunya, pucat dan damai, sebelum api melalap segalanya. Ia ingat bisikan ayahnya, "Bertahanlah, Mei Lan. Balaslah dendam kami."
Ia telah bertahan. Ia telah memainkan perannya dengan sempurna. Menjadi istri yang patuh, permaisuri yang anggun, menyimpan amarahnya di balik senyum yang mempesona. Ia telah menunggu. Ia telah merencanakan. Ia telah menggunakan setiap kelemahan Kaisar untuk menjeratnya dalam jaring yang tak terlihat.
"Kau pikir aku tidak tahu?" bisik Mei Lan, suaranya serak dan penuh racun. "Kau pikir aku lupa?"
Kaisar terhuyung mundur. Matanya memancarkan ketakutan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Ia menyadari, terlalu terlambat, bahwa ia telah meremehkan wanita yang telah berbagi ranjang dengannya selama bertahun-tahun.
"Kau… kau meracuniku?"
Mei Lan tersenyum, senyum yang dingin dan mematikan. "Perlahan. Tanpa rasa. Seperti malam panjang yang tak kunjung selesai. Setiap hari, setiap malam, racun itu menggerogoti tubuhmu, Li Wei. Sama seperti kau menggerogoti jiwaku."
Kaisar jatuh berlutut, tangannya mencengkeram dadanya. Ia terengah-engah, mencoba menghirup udara yang terasa berat dan menyesakkan. Mei Lan menatapnya tanpa belas kasihan. Hatinya telah membeku menjadi es.
"Ingatkah kau malam itu, Li Wei? Malam ketika kau membantai keluargaku?" Ia berjongkok, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Kaisar yang sekarat. "Aku janji padamu, kau akan merasakan sakit yang sama. Kau akan merasakan kehilangan yang sama. Kau akan merasakan KEHANCURAN yang sama."
Cahaya obor meredup. Dupa terbakar habis. Kesunyian mencekam memenuhi Paviliun Kebajikan. Kaisar Li Wei menghembuskan napas terakhirnya di kaki Putri Mei Lan.
Mei Lan berdiri, merapikan gaunnya yang berlumuran darah. Ia menatap mayat Kaisar dengan tatapan kosong. Balas dendamnya telah usai. Janjinya telah ditepati. Namun, hatinya terasa hampa, lebih kosong dari sebelumnya.
Ia meninggalkan Paviliun Kebajikan, melangkah melewati hamparan salju yang memutih. Di belakangnya, istana bergemuruh. Di dalam hatinya, hanya ada satu pertanyaan yang menghantuinya:
Apakah kebahagiaan sejati benar-benar ada, setelah hati dipenuhi dengan begitu banyak kebencian dan dendam?
You Might Also Like: Jual Skincare Yang Cocok Untuk Semua