Drama Populer: Langit Yang Memeluk Semua Cerita
Hujan kota membasahi layar ponselku, sama basahnya dengan mataku malam ini. Notifikasi dari grup kerja berdengung lirih, kontras dengan gemuruh di dadaku. Lagi-lagi namanya terpampang, membahas presentasi yang seharusnya kami kerjakan berdua. Kenangan tentang aroma kopi yang selalu dibawanya, tentang tawanya yang memecah keheningan perpustakaan, menyergapku tanpa ampun.
Dulu, hidupku adalah warnanya. Sejak pertama kali pesan singkatnya muncul di layar: "Hei, ini Leo. Nomor kamu dari Nia. Mau bareng ke acara seminar?" Pertemuan itu, seminar membosankan tentang big data, justru menjadi fondasi bagi labirin perasaan yang rumit. Kita bertukar mimpi di antara slide presentasi yang membosankan, merencanakan masa depan di tengah hiruk pikuk kafe, dan saling bertukar rahasia di bawah langit malam yang bertabur bintang.
Namun, seperti semua kisah modern, segalanya berubah secepat algoritma. Dia menghilang. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya sisa chat yang tak terkirim, dan kekosongan yang menganga.
Aku tenggelam dalam misteri yang menggerogoti. Apa yang salah? Apakah ada kata yang keliru kuucapkan? Apakah cintanya hanya sebatas ilusi, sebuah filter Instagram yang menipu mata?
Aku mencoba mencari tahu. Melalui teman-teman, melalui media sosial, bahkan sampai ke mantan pacarnya yang menyimpan dendam kesumat. Semuanya nihil. Leo seperti hantu.
Hingga suatu malam, secara tak sengaja, aku menemukan sebuah folder tersembunyi di laptopnya yang dulu pernah kupinjam. Isinya? Foto-foto dirinya dengan seorang wanita paruh baya, wajahnya pucat, terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Di bawahnya, sebuah catatan tulisan tangan: "Maafkan aku. Aku tak bisa memberitahumu. Aku tak ingin membebani hatimu."
Semuanya jelas sekarang. Penyakit. Perjuangan. Pilihan yang menyakitkan. Semua pertanyaan yang menghantuiku terjawab sudah. Tapi, jawaban itu justru terasa lebih menyakitkan daripada ketidakpastian.
Kini, aku berdiri di depan rumah sakit yang tertera di foto. Angin dingin menusuk tulang, membawa serta aroma antiseptik yang menusuk hidung. Aku tak masuk. Aku tak ingin mengganggu kenangannya.
Balas dendam lembutku adalah membiarkan masa lalu tetap di sana. Aku mengirimkan pesan terakhir ke nomornya yang sudah tak aktif: "Aku tahu semuanya. Aku mengerti. Terima kasih untuk semua ceritamu."
Kemudian, aku tersenyum. Senyum yang pahit, namun legitim. Senyum yang menandakan akhir dari bab ini.
Aku berbalik dan berjalan menjauh. Tanpa menoleh. Tanpa ragu.
Di saku jaketku, sebuah kertas kecil bertuliskan namanya, kini terasa ringan. Seberat debu.
Dan di hatiku, meski masih ada sesak, ada juga kebebasan.
Lalu, apa selanjutnya? Entahlah…
You Might Also Like: 193 Review Skincare Lokal Aman Untuk