TOP! Aku Menangis Saat Mendengar Namamu Di Tubuh Lain
Aku Menangis Saat Mendengar Namamu di Tubuh Lain
Kabut menggantung tebal di puncak Gunung Cangwu, menyelimuti pepohonan pinus purba seperti hantu yang berbisik. Angin dingin berdesir melalui lembah, membawa serta aroma tanah basah dan rahasia yang belum terungkap.
Di dalam Istana Giok yang megah, namun kini sunyi senyap, berdiri seorang pria. Pakaiannya sederhana, jauh dari jubah sutra keemasan yang dulu melekat padanya. Tatapannya tajam, mengamati lorong-lorong yang dulu dipenuhi tawa dan intrik. Dia adalah Li Wei, yang dulu dikenal sebagai Pangeran Mahkota, yang lama dianggap gugur dalam pemberontakan berdarah sepuluh tahun lalu.
Seorang wanita, mengenakan gaun ungu sutra, muncul dari balik pilar. Wajahnya cantik, namun dihiasi oleh garis-garis halus kekhawatiran. "Wei?" bisiknya, suaranya bergetar. "Benarkah itu kau?"
Li Wei menoleh, matanya melembut. "Lian," jawabnya lirih. "Apakah kau merindukanku?"
Lian mendekat, ragu-ragu. "Bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu? Aku menangis setiap malam, membayangkanmu… mati."
"Tapi aku tidak mati," kata Li Wei, suaranya dingin. "Aku hanya… pergi."
Suara langkah kaki mengganggu percakapan mereka. Seorang pria, bertubuh tegap dan mengenakan jubah kekaisaran, muncul di ujung lorong. Kaisar, yang dulunya adalah saudara Li Wei, kini menatapnya dengan mata penuh curiga.
"Wei," kata Kaisar, suaranya datar. "Apa yang membawamu kembali?"
"Aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hakku," jawab Li Wei, tanpa gentar.
Kaisar tertawa sinis. "Hakmu? Kau sudah lama kehilangan hakmu saat kau memilih untuk melarikan diri! Kau meninggalkan aku, Lian, dan seluruh kerajaan dalam kekacauan!"
"Kau tahu yang sebenarnya," kata Li Wei, tatapannya menusuk. "Kau tahu bahwa pemberontakan itu diatur olehmu. Kau ingin menyingkirkanku agar kau bisa merebut takhta."
Kaisar terdiam. Lian menatap mereka berdua, matanya membulat karena terkejut.
"Kau berbohong!" seru Kaisar, namun suaranya tidak meyakinkan.
"Tidak," kata Lian, suaranya bergetar. "Aku… aku sudah curiga sejak lama. Malam itu, sebelum 'pemberontakan' dimulai, aku mendengar kalian berdua berdebat. Aku mendengar… semuanya."
Li Wei mendekat pada Lian, meraih tangannya. "Aku pergi untuk melindungimu, Lian. Aku tahu jika aku tetap di sini, dia akan membunuhku, dan kemudian dia akan mengendalikanmu."
Kaisar tertawa histeris. "Bodoh! Kau pikir kau bisa melindunginya? Dia… dia sudah lama berpihak padaku!"
Lian melepaskan tangannya dari Li Wei. Dia menatap Kaisar, senyum tipis bermain di bibirnya. "Kau benar, Kakanda. Aku selalu berpihak padamu."
Li Wei menatap Lian, tidak percaya. "Tapi… kenapa? Aku mencintaimu!"
"Cinta?" Lian tertawa dingin. "Cinta hanya untuk orang bodoh. Aku menginginkan kekuasaan. Aku menginginkan takhta. Dan aku tahu, dengan bantuanmu, Kakanda, aku bisa mendapatkannya."
Kaisar tersenyum, meraih tangan Lian. "Bersama, kita akan memerintah kerajaan ini dengan tangan besi."
Li Wei terhuyung mundur, dunianya runtuh di sekelilingnya. Kabut di Gunung Cangwu terasa semakin tebal, menyesakkan. Semua pengorbanannya, semua penderitaannya, ternyata sia-sia belaka. Dia telah menjadi pion dalam permainan yang lebih besar, permainan yang dimainkan oleh orang-orang yang paling dia percayai.
Lian menatap Li Wei, matanya dingin dan tanpa emosi. "Aku menangis saat mendengar namamu di tubuh lain," bisiknya. "Karena saat itulah aku tahu, rencanaku berjalan sesuai kehendak."
Dan saat itulah, Li Wei mengerti. Bahwa kebenaran yang selama ini dia cari, justru tersembunyi di balik senyuman manis orang yang paling dia cintai. Bahwa selama ini, dia yang berada dalam kendali.
Dan segalanya telah menjadi takdirnya sejak dulu...
You Might Also Like: Supplier Skincare Tangan Pertama_8