Aku Menulis Surat Pada Arwahmu, Berharap Suratnya Sampai Lewat Mimpi
Aku Menulis Surat pada Arwahmu, Berharap Suratnya Sampai Lewat Mimpi
Angin malam mendesis di Bukit Seribu Bintang, membisikkan nama Lian Hua. Nama yang dulu terukir di hatiku, kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan. Di sinilah, di bawah hamparan bintang yang sama, kita dulu berjanji akan menaklukkan dunia, bukan saling menaklukkan.
Lian Hua, saudaraku, sahabatku, atau… lawanku?
Aku duduk di beranda, pena menari di atas kertas usang. Surat ini mungkin tak akan pernah sampai, tapi aku tak punya cara lain untuk berbicara padamu. Aku ingin kau tahu, atau mungkin, aku hanya ingin mengakui: aku merindukanmu. Merindukan senyum sinismu, kecerdasanmu yang tajam, bahkan ambisimu yang membara.
"Lian Hua," tulisku, tinta menetes seperti air mata yang tak bisa kutumpahkan, "Kau tahu, kan? Dari awal, ini sudah ditakdirkan menjadi pertarungan. Kita berdua sama-sama haus kekuasaan, tapi hanya satu yang bisa meminumnya."
Kita tumbuh bersama di Lembah Bulan Sabit, diasuh oleh Guru Bai. Diajari bela diri, strategi, dan yang paling penting: kesetiaan. Tapi, di antara kita berdua, siapa yang benar-benar setia? Kau selalu lebih unggul dariku. Lebih cepat, lebih kuat, lebih karismatik. Kau selalu menjadi matahari, dan aku hanya bulan yang memantulkan cahayamu.
"Kau ingat malam itu, Lian Hua? Saat kita menemukan gulungan kuno di perpustakaan terlarang?" Aku melanjutkan suratku. "Gulungan itu berisi ramalan. Ramalan tentang dua orang yang akan mengguncang dunia. Satu akan menjadi Kaisar, satu lagi... pengkhianat."
Dialog kita selalu menjadi permainan kata. Dulu, aku mengagumi kecerdasanmu. Sekarang, aku melihatnya sebagai manipulasi.
"Kaisar membutuhkan pengorbanan," katamu malam itu, dengan senyum yang tak pernah bisa kubaca. "Pengorbanan yang besar."
Saat itu, aku tak mengerti. Aku terlalu percaya padamu. Aku pikir kita akan menaklukkan dunia bersama. Tapi, kau sudah merencanakan segalanya, bukan? Kau sudah memilih siapa yang akan menjadi Kaisar, dan siapa yang akan menjadi… tumbal.
Siapa yang mengkhianati siapa? Pertanyaan itu menghantuiku setiap malam. Dulu, aku yakin kaulah pengkhianatnya. Kaulah yang menusukku dari belakang, merebut takhta yang seharusnya menjadi milikku.
Tapi, semakin lama aku merenung, semakin aku melihat kebenaran yang mengerikan.
Aku menemukan surat yang kau sembunyikan. Surat untuk Guru Bai, yang ditulis sebelum kau merebut takhta.
"Guru," tulismu, "Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kaisar tidak boleh dibutakan oleh cinta atau persahabatan. Aku harus mengkhianati sahabatku, untuk menyelamatkan kerajaan."
Kau... kau mengkhianatiku untuk melindungiku?
KAU MENGORBANKAN DIRIMU SENDIRI?
Amarah dan penyesalan bercampur aduk, membentuk badai di dalam diriku. Aku telah salah menilaimu. Aku telah membencimu tanpa alasan.
Sekarang, aku duduk di takhta yang kau rebut dariku. Takhta yang kau korbankan untukku. Aku memimpin kerajaan dengan tangan berlumuran darahmu.
Tapi, aku tak bahagia.
Aku memerintahkan pencarian besar-besaran. Aku ingin menemukan siapa yang membunuhmu. Siapa yang memanfaatkan pengorbananmu. Aku akan membalas dendam, Lian Hua. Aku akan membalas kematianmu dengan darah.
Aku menemukan mereka. Para bangsawan yang bersekongkol, yang merasa terancam oleh kekuatanmu. Mereka yang menghasutmu untuk membunuhku, dan kemudian membunuhmu untuk mengamankan posisi mereka.
Saat aku menghukum mereka, aku melihat bayanganmu tersenyum.
"Akhirnya," bisikku pada angin, "Aku mengerti."
Aku berdiri di balkon istana, menatap bintang-bintang. Aku tahu, ini sudah akhir bagiku. Aku telah menelan racun yang sama yang membunuhmu. Aku tak pantas hidup di dunia yang kau korbankan untukku.
Surat ini adalah pengakuan terakhirku. Maafkan aku, Lian Hua.
... Aku selalu mencintaimu, lebih dari seorang saudara.
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Pencerah Wajah